Cegah Penularan TBC Anak melalui Skrining Guru

Oleh: Alya Nur Fadhilah

PENYAKIT TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. TBC sudah ada sejak 100 tahun yang lalu. Umumnya TBC menginfeksi paru, namun bisa juga menginfeksi organ lain hingga menyebabkan kematian. Menurut WHO, TBC merupakan penyakit menular penyebab kematian terbesar setelah Covid-19. Indonesia menempati posisi ketiga sebagai penyumbang TBC baru di dunia setelah India dan Tiongkok.

TBC ditularkan melalui percikan dahak oleh penderita saat batuk, bersin, atau mengenai benda-benda yang terkontaminasi bakteri TBC. Umumnya TBC pada anak tidak menular, kecuali disertai batuk aktif. Penularan pada anak terjadi karena lingkungan sekitar terdapat orang dewasa dengan TBC paru aktif yang batuk tanpa menggunakan masker. Terutama pada anak dengan gizi buruk dan stunting cenderung memiliki kekebalan tubuh yang lebih rendah sehingga mudah terinfeksi oleh penyakit tersebut.

Anak menghabiskan separuh harinya berada di lingkungan sekolah, termasuk anak-anak pra sekolah yang dititipkan di daycare, PAUD, dan Kelompok Bermain. Guru memiliki peran aktif dalam mengenali tanda dan gejala penyakit TBC pada siswa dan dirinya sendiri untuk mencegah penularan.

Penulis sempat melakukan survei pendahuluan kepada 11 guru di Provinsi DIY terkait program skrining rutin TBC untuk guru di sekolah. Berdasarkan survey didapatkan bahwa 91% diantaranya setuju untuk dilakukan skrining rutin TBC di sekolah. Seluruh responden guru merasa membutuhkan sosialisasi terkait penyakit TBC, penularan, dan pencegahannya. Program skrining TBC berguna untuk mendeteksi kasus TBC pada guru di sekolah yang berisiko menularkan pada siswa didiknya. Program ini di bawah pengawasan Dinas Kesehatan dan dilaksanakan oleh Puskesmas sesuai wilayah kerjanya setiap 6 bulan sekali.

Awalnya setiap guru dilakukan pemeriksaan melalui kuesioner/wawancara terkait tanda dan gejala TBC pada dirinya dan orang sekitarnya. Pada guru dengan kecurigaan TBC dari hasil pemeriksaan dapat dilanjutkan tes dahak (BTA). Guru dengan hasil BTA positif akan dilanjutkan pemeriksaan, pengobatan, dan pemantauan oleh Puskesmas. Bagi guru yang didiagnosis TBC oleh dokter harus cuti kerja selama 6 bulan pengobatan yang bertujuan untuk mencegah penularan TBC kepada sis. Mekanisme gaji dan honorarium guru selama cuti diatur oleh sekolah dan tunjangan dari Dinas Kesehatan. Dinas Kesehatan wajib menjamin keberlangsungan hidup guru penderita TBC yang berperan dalam memutus penularan di sekolah.

Selanjutnya dilakukan skrining tes Mantoux pada siswa yang berkontak erat dengan guru tersebut. Hasil diagnosis positif TBC pada anak juga perlu pertimbangan apakah diwajibkan libur sekolah selama pengobatan atau boleh beraktifitas di sekolah dengan pemantauan dan syarat khusus. Syarat khusus siswa penderita TBC boleh datang ke sekolah adalah tidak memiliki gejala batuk aktif yang berisiko menularkan percikan dahak ke orang lain.

Namun apabila siswa terpaksa harus libur sekolah karena kekhawatiran penularan TBC ke siswa lain, maka mekanisme pembelajaran diatur oleh sekolah masing-masing. Misalnya menyediakan kurikulum daring untuk pembelajaran siswa penderita TBC di rumah, memberikan tugas dan feedback tugas secara rutin, dan pemantauan akademik harian. Selain skrining rutin yang dijelaskan di atas, rekrutmen guru dan penerimaan siswa baru di sekolah harus mensyaratkan adanya surat sehat dan surat bebas TBC dari dokter yang tanggungan dari calon guru dan calon siswa yang bersangkutan.

Sebagaimana yang sering terjadi dalam kasus penolakan vaksin dan skrining Covid-19 era pandemi, program ini juga bisa mendapat penolakan sebab kekhawatiran hasil positif penyakit TBC berisiko mengurangi pendapatan dan gaji karena harus cuti selama pengobatan. Hal ini bisa diatasi melalui komunikasi dan sosialisasi oleh petugas kesehatan setempat mengenai bahaya dan pencegahan penularan penyakit TBC.

Selain itu, sekolah dan Dinas Kesehatan setempat bertanggungjawab memastikan kebutuhan hidup pasien TBC dan keluarga terpenuhi bila harus berhenti bekerja selama pengobatan demi mencegah penularan TBC di sekolah. Dengan demikian koordinasi antar stakeholder berperan memutus rantai penularan TBC pada anak. *

 

*) Penulis adalah mahasiswa pascasarjana IKM UGM

Komentar